Seni Kaligrafi China, Lahir dari Cinta




Tahun Baru Imlek 2654 ini, kaligrafi china atau dalam bahasa Mandarin di sebut Shu Fa menjadi tontonan yang menyita perhatian di Kota Bandung. Setidaknya, dalam memeriahkan perayaan Imlek 2654 di Kota Bandung, aktifitas komunitas Shu Fa di Bandung ini seolah membuka mata masyarakat kalau dalam budaya Tionghoa seni kaligrafi juga ada sama seperti dalam kebudayaan Islam dari Arab.
Demo Shu Fa di Bandung, dimulai dari Riau Junction pada  21 Januari lalu, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan Shu Fa yang panjangnya 30 meter pada 28 Januari, oleh dua seniman Shu Fa, Qiu An Zhao yang sudah berusia 83 tahun dan muridnya Huang Qiu Yun yang berusia 63 tahun. 
Selang beberapa hari setelah  itu, yaitu pada Rabu (30/01/2013), alumni sekolah dasar Tionghoa di Bandung, Yi Hua juga menggelar demo Shu Fa dari Perkumpulan Shu Fa dan Lukis Tionghoa Indonesia yang dipimpin Soenanta Soemali. Para seniman kaligrafi yang usianya rata-rata diatas 60 menunjukan kemampuannya menggoreskan mao pi (kuas) di hadapan 300 alumni Yi Hua, yang hadir pada acara itu.
Masih menyambut perayaan Imlek 2654, Yayasan Dana Sosial Priangan (YDSP) Bandung yang memiliki Galeri Kebudayaan Tionghoa pada Minggu (03/02/2013) lalu juga tidak mau ketinggalan dalam menggelar demo dan pameran Shu Fa. Diikuti puluhan seniman Shu Fa, pameran ini menarik perhatian karena menunjukkan keindahan dan makna yang terkandung dalam goresan-goresan kata. Selama satu hari warga Tionghoa berdesakan minta dibuatkan Shu Fa perayaan tahun baru Imlek 2654.
Demo paling spektakuler dipertunjukan Komunitas Shu Fa Ronghua Bandung, tepat dihari Perayaan Tahun Baru Imlek 2654 di Festival Citylink Mall pada Minggu (10/02/2013). Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 25 orang anggota seniman Shu Fa membuat Shu Fa terpanjang yang mencapai 271 meter dalam waktu dua jam. Pencapaian itu sekaligus meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI), karena berhasil melampaui rekor sebelumnya yang dibuat di Surabaya pada tahun 2008 sepanjang 133,4 meter.
Aktifnya kegiatan seniman Shu Fa di Bandung tidak terlepas dari peran Rachmat Hidayat atau Huang De Chang yang sejak tahun 2000 tergerak hatinya mengajarkan Shu Fa di Yayasan Ronghua, sebuah lembaga yang bergerak dalam pengenalan dan pelestarian seni budaya Tionghoa di Bandung.
Mulanya, Huang De Chang yang sudah meraih beberapa penghargaan di luar negeri, mengikuti pameran kebudayaan Tionghoa yang diadakan Yayasan Ronghua di awal reformasi. Melihat karya-karya Shu Fa Huang De Chang yang indah, Yayasan Ronghua menawarinya mengejarkan Shu Fa. Tujuannya, agar terjadi regenerasi seniman Shu Fa yang kala itu usianya sudah diatas 60 tahun.
‘’Kata mereka waktu itu, kalau dalam 10 tahun ini tidak ada regenerasi, Shu Fa di Indonesia akan mati. Sebab seniman Shu Fa di kota lain seperti Jakarta juga sudah pada Uzur. Sedangkan di bandung, seniman Shu Fa yang sangat senior, Chiang Yu Tie pada tahun 2000 juga sudah meninggal. Atas dasar itu saya pun mulai mengajarkan Shu Fa,’’ jelasnya.
Hingga saat ini Huang De Chang adalah salah seorang guru atau lao shi Shu Fa di Bandung, yang sudah menorehkan puluhan prestasi di dalam dan luar negeri. Prestasi terspektakuler yang pernah ia raih adalah rekor Muri atas namanya pada tahun 2003, karena berhasil membuat kaligrafi terpanjang seorang diri dengan panjang 50 meter atau 3500 karakter di Bandung Trade Center (BTC).
Selain itu, Huang De Chang juga berhasil meraih gelar juara I pada Lomba Kaligrafi Internasional yang dilaksanakan dalam rangka peringatan Republik Rakyat China di Beijing pada tahun 2009 dan juara I Lomba Kaligrafi se Dunia yang dilaksanakan dalam rangka China Expo pada tahun 2011.
Ditemui  Jia Xiang Hometown di kediamananya jalan Kiara Condong No. 277 A Bandung, Rabu siang (13/02/2013), Huang De Chang berkisah ikhwal ketertarikannya pada seni kaligrafi dan upaya pengembangan yang dilakukannya bersama Yayasan Ronghua Bandung.
‘’Saya mengenal kaligrafi sejak kecil. Kala itu saya masih sekolah di bangku sekolah Tionghoa di Bandung, bernama Chiao Kong setengah abad lalu. Awalnya saya lihat kok orang bisa yah bikin kaligrafi begitu bagusnya. Saya kemudian coba belajar sendiri. Awalnya memang sulit. Tapi karena sudah terlanjur jatuh cinta, meskipun sulit, lama kelamaan bisa,’’ tutur Huang De Chang.
Menurutnya, belajar kaligrafi itu memang gampang-gampang sulit. Namun kunci utama yang harus dimiliki seseorang untuk belajar kaligrafi adalah modal minat. Sebab, tanpa minat meskipun yang bersangkutan memiliki bakat seni rupa, sulit sekali mendapatkan hasil maksimal.
 Huang De Chang menengaskan seni Shu Fa itu lahir dari cinta. Tradisi ini sejak 5000 tahun lalu sudah ada dan berlangsung terus menerus di masyarakat Tiongkok hingga di daerah perantauan. Ketekunan disertai rasa senang pada kaligrafi China akan membuat seseorang mudah melalui pelajaran-pelajaran Shu Fa dan bertahan sebagai seniman Shu Fa. Pembuatan kaligrafi yang menggunakan kuas dan tinta hitam khusus, harus melibatkan semua unsur dalam diri manusia. Mulai dari hati hingga otak, menyatu menggerakan tangan yang memegang kuas.
‘’Penenkanan kaligrafi China itu ada pada goresan kuasnya. Sebab dalam kaligrafi China aksara yang dipakai sangat khas, karena terdapat guratan yang tebal dan tipis. Kemudian dalam satu huruf itu juga terdapat keseimbangan guratan yang harus ditonjolkan. Bila seseorang tidak punya rasa senang pada kaligrafi China, ia akan sulit menciptakan karya kaligrafi,’’ jelas Lao Shi yang saat ini sudah memiliki puluhan murid dari berbagai usia dan kalangan seraya menambahkan kalau ungkapan-ungkapan indah dari kaligrafi tidaklah sulit dibuat, karena sudah ada buku petunjuk yang menjadi pedoman.
Ditanya tentang suka duka menjadi seniman kaligrafi, Huang De Chang mengungkapkan kalau selama ini ia selalu merasa senang bisa menghasilkan Shu Fa. Ia senang bisa membuat Shu Fa untuk mengungkapkan rasa duka atau biasa disebut Wan Lien. Atau saat diminta membuatkan figura Shu Fa dalam perayaan pernikahan.
Beruntung ia mendapatkan dukungan dari istrinya, Lien Foeng Lan dan ketiga anaknya. Meskipun hingga kini anak atau cucunya belum ada yang menjadi penerusnya, namun bisa mengajarkan Shu Fa kepada generasi muda di Yayasan Ronghua baginya sudah lebih dari cukup. Apalagi yang belajar Shu Fa saat ini bukan hanya warga keturunan Tionghoa. Warga asli Indonesia pun saat ini sudah menunjukkan minatnya belajar Shu Fa.
Setidaknya, kata Huang De Chang ia bisa membayar waktu 32 tahun kevakuman Shu Fa di Indonesia. Katanya, selama 32 tahun antara tahun 1965 sampai dengan tahun 1998, ia sangat terkungkung. Jangankan mengajarkan, untuk berkarya pun harus sembunyi-semnbunyi, akibat kebijakan politik Presiden Soeharto yang berkuasa pada masa orde baru melarang semua aktifitas budaya Tionghoa.
Selama kurun waktu itu, ia juga kesulitan mendapatkan tinta khusus kaligrafi, karena di Indonesia tidak diproduksi. Penjual tinta kaligrafi juga terbatas. Di Bandung kala itu hanya ada satu toko yang menjual tinta kaligrafi. Harganya pun sangat mahal, mencapai Rp 100.000 per botolnya. Sangat berbeda dengan kondisi saat ini, dimana tinta bisa diperoleh di toko-toko yang menjual alat tulis dengan harga sangat murah hanya Rp 20.000 per botol.
Beruntung, kreatifitasnya tidak melempem. Tidak bisa berkarya di Indonesia, Huang De Chang justru eksis di luar negeri. Banyak sekali penghargaan yang berhasil ia peroleh atas prestasinya sebagai seniman Shu Fa.
Di masa mendatang, Huang De Chang menilai kaligrafi China di Indonesia akan berkembang dengan baik. Itu seiring dengan pelaksanaan pameran kaligrafi tingkat nasional ke-4 di Surabaya 25 Januari 2013 lalu di Surabaya, sekaligus pembentukan perkumpula kaligrafi se Indonesia yang diberi nama The World Bang Shu Federation Indonesia Branc dimana Huang De Chang duduk sebagai Wakil Ketua.
Katanya, melalui lembaga itu diharapkan para seniman Shu Fa bisa mengembangkan diri dan terus mengajarkan kaligrafi kepada generasi muda Indonesia, agar seni Shu Fa tidak mati seiring perkembangan teknologi komputer saat ini yang juga sudah bisa mereproduksi Shu Fa. ‘’ Shu Fa banyak sekali bisa dihasilkan di computer. Tapi nilai seninya tentu saja berbeda, karena tidak ada hasil guratan yang akan sama dengan Shu Fa yang dibuat dengan tinta dan kuas,’’ tandas Huang De Chang yang enggan bicara soal materi yang ia hasilkan dari perofesinya sebagai seniman Shu Fa.
 Bagi pria kelahiran Bandung 9 November 1947 ini, karya Shu Fa tidak bisa dinilai dari materi semata. Shu Fa yang ia buat bisa diapresiasi dengan baik, lebih tinggi nilainya dari materi yang ia dapatkan. Sebab hidup sebagai seniman sekaligus Lao Shi Shu Fa, nilai materinya memang tidaklah sebanding. Kecintaanya kepada Shu Fa adalah segalanya bagi Huang De Chang sampai kapan pun. Kelak, rekor baru ingin ia ciptakan kembali baik atas nama pribadinya maupun bersama murid-muridnya.

Postingan populer dari blog ini

Menikmati Kuliner Sulawesi di Bandung

Kesabaran di Balik Indahnya Chinese Painting