Bangun Kepercayaan Diri di Dunia Pendidikan


Waktu hampir menunjukan pukul 10.00 WIB kala aku memarkirkan kendaraanya di parkiran SMK Negeri 9 Bandung di Jalan Soekarno Hatta Bandung.  Udara Bandung, Rabu (17/09/2012), cukup bersahabat.Pun saat melangkahkan kaki memasuki sekolah pariwisata terfavorit di Kota Bandung itu.
Di sekolah ini ada tujuh program kompetensi keahlian yang ditawarkan.  Ada kompetensi keahlian akomodasi perhotelan, usaha perjalanan wisata, jasa boga, pastry, busana butik, kecantikan kulit dan kecantikan rambut.
Di salah satu program kompetensi itu ada seorang perempuan kelahiran Kota Palu mengajar. Dia bahkan saat ini bukan hanya sekedar mengajar. Tapi juga dipercaya menduduki salah satu jabatan cukup penting di sana. Menjadi Wakil Kepala Sekolah Bidang Unit Produksi.
Tat kala Mercusuar mendapatinya di ruangannya, ia langsung berdiri menyapa. ‘’Aduh, lama banget yah kita baru bertemu,’’ sambut wanita berkerudung kelahiran Palu, 31 Agustus 1971 ini.
Hari itu dia tampil sangat chick dengan paduan hitam, merah dengan rompi kotak-kotak. Mercusuar mengenalnya dengan nama Nawal Said Bchmid. Ia adalah putri Said Bachmi. Sebelum ke Bandung, ia sempat menjadi tenaga pengajar di SMK Negeri Palu, tempatnya dulu menuntut ilmu serta mengajar di SMK Negeri Poso hingga tahun 1999.
Nawal, demikian biasa disapa adalah salah satu pelajar yang memiliki otak cemerlang di SMKK Negeri Palu (sekarang SMK Negeri 1 Palu). Bukan hanya itu, ia sangat piawai mengurus organisasi, sehingga dipercaya menjabat sebagai ketua OSIS pada tahun 1989/1990. Ketika lulus dari sana pada tahun 1992, ia pun mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta, dengan program studi  kecantikan.
‘’Padahal waktu itu saya berpikir setelah lulus pengen usaha saja. Mungkin jadi desainer. Karena suka banget desain. Tawaran beasiswa itu yang mengubah hidup saya menjadi pendidik seperti sekarang ini,’’ kenang istri dari Efrat Fachry ini menerawang.
Usai menyelesaikan program D3 di IKIP Jakarta, Nawal pun harus kembali ke sekolah yang dulu mengirimnya. Ia digadang-gadang akan menjadi tenaga pengajar di SMK Negeri 1 Palu. Siapa nyana, surat pengangkatan dirinya sebagai guru sekaligus pegawai negeri mengharuskannya menempati pos staf pengajar di SMK Negeri Poso pada tahun 1996 hingga 1999.
‘’Saya merasa sudah sangat senang di sana. Namun, perjalanan hidup berkehendak lain karena suami saya yang dulu seoran g jurnalis di salah satu Harian di Pulau Jawa mengharuskan saya mengikutinya pindah ke Bandung. Mau tidak mau saya harus mengikutinya,’’ ujar wanita berdarah Arab ini.
Di Bandung, tentu saja dia harus memulai hidupnya kembali dari nol. Sebagai perempuan yang lahir dan besar di Palu, membuat Nawal selalu teringat kampong halamannya. Apalagi kondisi di Pulau Jawa, khususnya di Bandung menempatkannya sebagai seorang pendatang yang harus belajar tata budaya setempat.
‘’Kendala bahasa itu sudah pasti. Di mana-mana orang berkomunikasi dengan bahasa Sunda sebagai pengantar. Aduh, pusing juga. Namun lama kelamaan saya juga bisa menyesuaikan diri,’’  ujar ibu dari Amirah Tijris, Aliza Fakhira dan Adiba Alia Jamilah.
Kini, ia meniti kariernya sebagai guru di Bandung.  Awal tugas di SMK Negeri 9, Nawal hanya menjadi guru biasa saja. Namun karena kompetensi yang dimilikinya tidak lama kemudian ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Ketua Program Keahlian. Selain mengajar dia kemudian menjadi staf Humas, staf Kurikulum, Staf Unit Produksi hingga ia akhirnya dipercaya menjadi Wakil Kepala Sekolah Bidang Unit Produksi.
Tugas pokoknya adalah mengatur, memantau dan menata kegiatan unit produksi kompotensi keahlian di sekolah itu. ‘’Yah, semacam bisnis center. Hanya saja di sini tidak total bisnis. Karena semuanya memiliki keterkaitan dengan pembelajaran siswa.
Ada delapan bisnis yang harus dikelolahnya bersama murid-muridnya. Mulai dari bisnis hotel, laundry, catering, pastry, salon rambut, spa salon/kulit, sanggar busana dan usaha perjalanan wisata. Bisnis ini, sudah menjangkau pasar hingga Jakarta.  Karena itu, sekolah ini kata Nawal, segera menjadi salah satu sekolah model di Indonesia.
Tidak berniat kembali ke Palu?
Nawal tersenyum penuh arti. Ia berpikir sejenak, baru kemudian tertawa. ‘’Mau yah.  Bahkan kalau saya pindah lagi ke sana, pasti sekolah saya menerima saya dengan senang hati. Karena bidang ilmu yang saya miliki ini kan termasuk langka. Tapi, yah mau bagaimana?’’ ujarnya.
Bagi Nawal, mengajar di mana pun sama saja. Sesekali ia memang merasa letih dan ingin istirahat. Tapi tugas sebagai guru terus memanggilnya. Meskipun kini ia menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah, tapi dalam seminggu ia memiliki beban mengajar selama 12 jam. Tugas itu dijalankannya sebagai amanah. Seperti juga ia menjalankan amanah sebagai siswa selama tiga tahun di IKIP dalam rasa pahit getirnya hidup di negeri rantau.
Di masa itu, mental dan batinnya tertempa. Bahkan ia rela tidak pulang selama tiga tahun hanya untuk menyelesaikan tugas studinya dengan baik. Maka ia pun mahfum adanya saat harus menjalankan hidupnya di negeri rantau dan bersaing di antara orang-orang pintar dan cerdas di kota besar seperti Bandung.  Rasa pecaya dirinya, justru semakin tumbuh tatkala ia bergelut dengan kehidupannya saat ini.
Setelah tinggal di Bandung, ia juga bisa melanjutkan studinya menyelesaikan gelar sarjana penuhnya, baru kemudian melanjutkan studinya di jenjang pasca sarjana. Semua itu diraihnya dengan kerja keras, keteletanan tanpa kenal lelah dan menyerah. ‘’Saya akhirnya bisa percaya diri dengan semua ini,’’ ujar Nawal yang senang membaca, menonton dan menggambar mengakhiri perbincangan siang itu. ***
Pernah dimuat di Harian Mercusuar, Palu

Postingan populer dari blog ini

Menikmati Kuliner Sulawesi di Bandung

Kesabaran di Balik Indahnya Chinese Painting

Seni Kaligrafi China, Lahir dari Cinta