Selamat Jalan Soeria Lasny, Wartawan Senior Sulteng
Belasungkawa atas wafatnya wartawan senior Sulawesi Tengah
(Sulteng), Bapak Soeria Lasny di Palu, Sabtu (1/3/2014) dalam usia 80 tahun.
Kabar duka itu aku terima dari Kak Erick Tamalagi, Pemimpin Umum Metro Sulteng sekitar pukul 13.15 waktu
Bandung.
Innalillahi wa innailahi rojiun. Pak Soeria sudah kembali
keharibaan Ibu Pertiwi. Semoga amal ibadah dan kebaikan Pak Soeria –demikian aku
memanggilnya, diterima Allah SWT. Segala
khilafnya diampuni Allah SWT dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan
dan kesabaran. Amin.
Suri tauladan yang dicontohkannya telah menginspirasi banyak
jurnalis di Sulteng. Pak Soeria adalah satu dari sekian wartawan senior di Palu
yang memiliki karakter sangat kuat. Tatkala beliau pensiun di Suara Pembaharuan
sekitar tahun1992, aku baru saja mulai menjadi wartawan magang di Harian Fajar
biro Palu.
Meskipun tidak begitu dekat dengannya, kami cukup saling
mengenal. Dari beberapa karya jurnalistik dan buku yang ditulisnya aku dapat
mengetahui kalau sosok Pak Soeria adalah wartawan sejati.
Diusianya yang sudah berkepala enam --kala aku mengenalnya,
Pak Soeria masih terlihat sangat tangguh. Mengendarai kijang pick upnya beliau
berkeliling ke berbagai pelosok di Sulteng.
Jaringannya kuat. Kutahu, beliau juga banyak mengkader wartawan-wartawan
di Sulteng. Salah satunya, tentu saja
seniorku dulu di Harian Mercusuar yang kini menjadi salah satu redaktur di
Harian Suara Pembaharuan di Jakarta, Jeis Montesori.
Dari apa yang pernah
aku dengar dan aku baca, Pak Soeria bisa dikata adalah wartawan tiga jaman. Tidak ada wartawan yang tak mengenalnya di
Sulteng. Simak saja panggilan terhadapnya. Selain dengan sebutan pak, ada yang
memanggilnya om. Bahkan digenerasi sekarang malah sudah memanggilnya opa.
Setengah abad lebih berkarier sebagi jurnalis, dia adalah saksi
sejarah bagi Sulteng. Pak Soeria, bukan
hanya menulis. Tapi dia juga pengarsip yang baik, dan fotografer yang jeli .
Aku pernah diajari olehnya cara mengarsipkan file foto, agar mudah dikenali
tatkala dibutuhkan.
Sebuah catatan yang dibuat pada Februari 2009 oleh Rahmat
Aziz dimuat Luwuk Post berjudul Soeria Lasny, dari Tel Aviv sampai Gunung
Tinombala coba aku ulik kembali demi mengenangnya.
Karier jurnalistik Pak Soeria dimulai di Kota Makassar Sulawesi
Selatan (Sulsel) di Harian Marhaen pada tahun 1957. Kala itu, Pak Soeria tercatat
sebagai pegawai Kantor Pos Besar Makassar dengan pangkat klerek muda.
Namun
jiwanya terpanggil oleh hobbinya yang senang menulis. Saat melamar di Harian
Marhaen, dia diterima sebagai staf sekretariat redaksi. Tugasnya mengurus
surat-surat yang masuk. Tak lama kemudian, dia menjadi korektor berita. Lalu
menjadi reporter.
Berbekal pengalamannya di harian itu, saat kembali ke tanah
kelahirannya Poso, Pak Soeria
menerbitkan Koran Pembina. Jangan membayangkan bentuk korannya seperti yang kita
baca saat ini, karena koran itu hanya berupa stensilan.
Pak Soeria lantas bergabung di Kantor Berita Antara di
Manado, Sulawesi Utara (Sulut). Tatkala provinsi Sulteng berdiri pada tahun
1964, ia kembali ke Palu membuka biro Antara. Tak lama kemudian, Pak Soeria
pindah ke Harian Sinar
Harapan yang terbit di Jakarta hingga koran tersebut dibredel pada tahun 1980-an
dan kemudian terbit dengan nama Suara Pembaharuan.
Di harian
yang terbit siang itu, Pak Soeria bekerja hingga pensiuan pada tahun 1992. Di
masa pensiunnya , Pak Soeria tidak pernah berhenti menulis. Meski dalam jumlah
terbatas, Pak Soeria banyak menulis buku tentang Sulteng.
Tahun
1999, Pak Soeria bersama beberapa kawannya menerbitkan koran Banggai Pos,
Banggai Ekspress dan Duta Sultim, sambil terus menerbitkan buku.
Disepanjang
karir jurnalistiknya, tidak sedikit peristiwa penting di Sulteng yang
disaksikannya. Peristiwa jatuhnya pesawat Merpati di Gunung Tinombala, meletusnya
Gunung Colo di Teluk Tomini, pembebasan Irian Barat, hingga konflik Poso.
Seluruh
wilayah Sulteng juga telah dijelajahinya untuk membuat berbagai karya
jurnalistik. Kala transportasi dan komunikasi belum sebaik saat ini, Pak Soeria
sudah bertualang menjelajah hingga pedalaman Sulteng yang didiami suku Tau Taa Wana,
dan suku-suku lainnya yang mendiami daerah pegununan hingga lautan.
Pak Soeria
adalah sebuah catatan lengkap. Hingga usia senja pun dia tidak pernah berhenti
menulis dengan catatan-catatan yang dia miliki. Seingatku, aku bertemu terakhir
dengannya sekitar Mei 2003 di sebuah acara di Kota Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulteng.
Bersama
sahabat baiknya Goerge Junus Aditjondro –penulis buku Gurita Cikeas, kami
bersantap ikan bakar dan jalan-jalan melihat-lihat kondisi Kota Luwuk. Setelah
itu, aku tidak pernah berjumpa dengannya setelah pindah ke Bandung. Hanya kabar
dan cerita dari kawan-kawan jurnalis di Palu yang selalu aku dengar tentangnya.
Termasuk pada awal
Desember 2013, Pak Soeria mengalami masalah serius pada kesehatannya dan sempat
di rawat di rumah sakit di Palu. Dalam kondisi bertahan dengan sakitnya, sekitar
dua pekan lalu, Pak Soeria mendapat kejutan perayaan ulangtahun ke-80 dari para
wartawan di Palu yang menyambangi kediamannya.
Dari apa yang juga aku baca di MetroSulteng.Com sebuah buku
yang ditulis Pak Soeria dalam rangka menyambut peringatan setengah abad
Sulteng, sedang dalam proses penerbitan. Tentu saja ini
menjadi karya terakhir “Pencatat Sejarah Sulteng” yang mumpuni.
Selamat
jalan Pak Soeria. Kenangan bersamamu akan selalu menjadi cerita indah. Sapa dan
senyummu akan selalu terpatri di hati. Meskipun engkau sudah kembali keharibaan
Allah SWT, tapi karya-karyamu akan tetap hidup dan menjadi pengingat sejarah Sulteng
yang menginspirasi.
Bandung, 1
Maret 2014